Sabtu, 29 Agustus 2009

TRUE LOVE


Banyak orang tidak mengerti tentang kedalaman makna cinta sesungguhnya (true love). True love adalah sebuah komitmen kuat untuk tetap survive dan saling menghidupkan terhadap pasangan. True love bukanlah aksi pertunjukan seorang laki-laki untuk mendapatkan hati pasangannya, tapi sebuah usaha menyatukan kebenaran, loyalitas, keamanan, saling ketergantungan, cinta, emosi, mimpi, harapan, dan komitmen. Namun ini tak bisa dipungkiri bahwa ini sulit untuk dilakukan.
Dalam artikel True Love (Hello Magazine, February 2009) membuat sebuah kesimpulan tentang kapasitas diri untuk mencinta:
1. Be ready to pay up
Keiginan untuk memberi sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Akan lebih baik jika pemberi ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
2. Be team player
Keinginan untuk mengalahkan individu demi tujuan yang lebih besar, so as to be an axcellent team player.
3. Be strong
Kekuatan untuk menerima kebenaran dan segala konsekuensinya. Don’t blame your partner and others for the consequences. Jika hubunganmu mengalami keretakan atau melemah karena alas an tertentu, cobalah terima kenyataan dan rencanakan untuk tetap bertahan dan cobalah memperbaikinya lagi.
4. Be lovable
Keinginan untuk melakukan penyesuaian diri dengan yang lain. Itu tidak bisa disangkal. Lihatlah kebahagiaan pasangan kamu sebelum melihat segala sesuatu dari dirimu. Lebih mengkhawatirkan pasanganmu dari dirimu sendiri.
5. Be trustworthy
Jika kamu dikekang oleh banyak hal, janganlah melihat kebelakang terhadap hal-hal yang membuatmu tidak percaya.
6. Be ready to learn
Setiap saat, belajarlah sesuatu yang baru tentang hidup dan cinta. Akrabkan dirimu dengan pengetahuan yang baru. Ini akan menjadi nilai tambah apalagi jika mampu menyeimbangkan antara pengetahuan dan kabijaksanaan.
7. Be patient
Jika ada pendapat “hidup adalah perburuan untuk mendapatkan cinta” jangan percaya karena itu tidak akan menolongmu.
8. Be ready to expect and unexpected
Hidup dan cinta ibaratkan sisi mata uang yang selalu silih berganti yang menuntun kita untuk mendapatkan sesuatu yang baru dan baru tentang diri kita, hidup, kebenaran, dunia, alam, cinta dan kesempurnaan.


Hal yang tidak termasuk dalam kapasitas diri untuk mencinta adalah:
1. Kecantikan fisik
2. Latar belakang social, kebangsaan, agama, dan adat istiadat.
3. Sensuality.

(Makassar, 29 Agustus 2009)

ZERO


Aku selalu ingin bertanggung jawab pada setiap garis pinggiran kertas. 4-4-3-3. Aku ingin merasakan betapa keterbatasan selalu membungkus badan, wajah, serta nalar kita. satu cara untuk mengelabui keterbatasan itu, aku hiasi disetiap sudutnya dedaunan hijau dan menyelipkan bunga berwarna-warni di setiap ujung pangkalnya. dan disetiap garis lintangnya, kulukis burung-burung nan tampak hidup.
“hari ini, aku ingin mulai menulis lagi” kurangkap beberapa kertas menumpuk kebawah. cukuplah 4. atau ketika tujuan sudah mendahului ide, lembaran terakhir kukosongkan saja. sudah tersedia pena dengan mata halus memandang.
tapi aku lama terdiam.
sudah lama tidak menuangkan cerita kedalam kertas. otak terasa berkarat untuk mencari ide. padahal setiap lirikan adalah ide. setiap langkah adalah ide. dan setiap hembusan nafas adalah ide.
lalu, kenapa aku terdiam?
pena dalam genggaman mulai merayu. “jangan terlalu sibuk dengan kehidupan terdahulumu. yang kau pikirkan hari ini mestinya akan terjadi di kehidupanmu kelak. apa didalam benakmu sekarang, hai penghayal”
“kebahagiaan!”
“kebahagiaan apa? kau rasakan dari mana kebahagiaan itu? dari materi? dari cinta? ataukah dari umurmu yang hampir setengah umur Nabimu?”
“aku ingin merangkai ketiganya dalam satu kisah”
“kau mulai dari mana?”
“dari cinta, kulanjut umur, kuakhiri dalam materi”
“jangan…..aku tak akan sanggup menampung air matamu” lembaran pertama berkata setengah memohon.
“aku tidak ingin kau torehkan angka dalam benakku” lembaran kedua menolak.
“aku pun geli ketika kau mulai menghitung materimu” lembaran ketiga menolak dengan senyuman.
“bagaimana jika kumulai dari umur, dan kuceritakan sedikit materi, lalu cinta menyimpulkannya?”
“aku adalah awal. setiap awal tak pernah mengungkapkan penyesalan. aku bisa menebak, kau begitu menyesal dengan umurmu kini” lembaran pertama kembali menolak.
“kutawarkan materi sebagai awal”
“setiap langkahmu adalah kefakiran, sastra kuno telah menuangkannya sejak lama diawal kisah. aku ingin sesuatu yang baru darimu”
kulirik lembaran kedua. dia membung muka. kualihkan pandangan ke lembaran ketiga. dia menunduk lalu menggelangkan kepala. sisanya lembaran keempat.
“bagaimana dengan kau”
“aku tak cukup menampung ketiganya. aku pun tidak ingin mengungkap tema dengan kata akhir bersambung”
Aku berdiri lalu berjalan mendekati jendela. angin dini hari menyapa dingin. sesekali hembusannya merangkul erat. ada kerinduan yang dalam dari rangkulannya. sesekali pula sedikit menampar wajahku. ada kebencian yang sangat dalam hatinya.
“apa kabarmu?” kusapa saat dia merangkul
“aku sangat baik dan bahagia” kemudian dia menampar. “kutawarkan satu ide untukmu”
“apa itu?”
“ZERO. kekosongan. ketiadaan”
“apa maknanya?”
“sebenarnya kau tidak memiliki. kau termiliki”
“apa yang memilikiku?”
“yang membuatmu merasa termiliki. perasaanmu hanyalah kesementaraan dan akan menjelma menjadi ketiadaan. jika kau betah dengan perasaanmu, kau menjadi termiliki oleh perasaanmu”
“aku belum paham maksudmu”
“kudengar kau memilih tema kebahagiaan. kebahagiaanmu adalah cintamu kini, materimu kini, dan umurmu kini. kau merasa miliki mereka. tapi aku yakin, mereka telah memilikimu tanpa kau sadari”
khotbahnya membuatku pucat. kututup jendela serapat mungkin dan berharap dia tidak datang lagi dalam hidupku. aku kembali menemui pena dan beberapa lembar kertas. kupandangi wajah mereka satu persatu. Nampak pucak.
“kalian mendengar pembicaraanku dengan angin?”
“iya” seru mereka hampir bersamaan.
“kenapa wajah kalian ikut memucat?”
“angin itu betul, kebahagiaan ketika kita berada dalam ketiadaan, kekosongan, ZERO. didalam ketiadaan, kau adalah makhluk bebas. apakah kau rindu dengan kebebasanmu?”
“iya”
“kalau begitu, mulailah menulis dari kebebasanmu” pena mulai berdiri miring kearahku. wajah beberapa lembar kertas terlihat merona. berseri.
(Kelara, 21 Juli 2009)

CAHAYA


Pagi hari, selalu saja ada cahaya kecil dari lubang kecil dinding kamar. Jatuhnya terkadang tepat di mataku menarik-narik mataku,
“bangunlah, diluar bayanganmu sudah menanti”
Selalu saja cahaya kecil itu mengendap dari lubang sebesar mata kucing. Jatuhnya terkadang tepat di telingaku. Berbisik seperti membisik kekasihnya,
“yang bahagia, buatlah sayap dari helai-helai do’a”
Selalu saja ada cahaya kecil bersembunyi dibalik selimut. Menenteng kata di ujung anak panah . Aku ingin mengenalnya lebih dekat. Dari jenedela dan pintu kamar. Dan dia menoleh setengah teriak,
“cukuplah kau mengenalku dari lubang kecil itu”.

(Sawitto, 21 Januari 09)

BANJIR

Banjir sudah berlalu. Ketika pagi buta ia datang, lalu menghilang begitu saja

Jikapun ada yang tersisa, tentu bukan bagianku.

Hujan masih saja bertabur gerimis. Seperti air mata. Tapi tak tampak ada yang bersedih. Hanya paras-paras lelah, seperti paras detik.

Entah kemana perginya kemarau

Yang menawarkan malam dingin. Kecerahan langit malam dengan bintang. Siangnya menebarkan kupu-kupu. Angin meniup panas yang tak mudah tersinggung.

(Sawitto, 4 Januari 2009)

Demoralisasi dan Kegugupan Kita


Tanggung jawab guru makin lama makin rumit. Tiap hari dia harus menafsirkan kembali kehidupan modern. Lantaran kehidupan modern punya begitu banyak aspek dan sekian banyak matra, yang tak mungkin dipahami sepenuhnya dengan cara-cara konvensional. Sebagai manusia yang memiliki nilai, guru diperhadapkan dengan berbagai bentuk persoalan sebagai dampak modernisasi dalam dunia pendidikan. Mulai dari persoalan kesejahteraannya sampai perilaku immoral para siswa yang ujung-ujungnya guru menjadi sasaran kritik masyarakat sebagai factor yang tidak bisa membentuk manusia menjadi lebih baik. Belum lagi ketika guru, tanpa sadar diri, ikut terjerumus pada tindakan-tindakan yang dinilai masyarakat immoral, maka semakin berlipat-gandalah tekanan yang diterimanya. Beberapa kasus yang melibatkan oknum guru sebagai pelaku utama, seperti pelecehan seksual, aksi pemukulan, dan pembocoran soal UAN sudah menjadi berita basi bagi masyarakat. Kasus-kasus ini, ibarat pukulan telak terhadap dunia pendidikan kita, selanjutnya akan menimbulkan pertanyaan yang menggugah kesadaran kita. Bagaimana kualitas lulusan proyek pendidikan kita hari ini? Jika kita ingin menjawab seadanya, mungkin tidak jauh-jauh dari gambaran beberapa kasus diatas yaitu kualitas manusia Automaton – makhluk hidup yang bergerak dan berfikir serupa mesin, serba otomatis – atau dalam penegertian Erich Fromm, individu yang kehilangan hakikat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri saja….alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas.

Namun terlepas dari itu semua, guru sadar akan ketidaklengkapan dirinya sendiri, sadar akan ketidaklengkapan para muridnya, sang guru hanya mampu menjumpai siswanya tanpa mengobjekkan mereka. Guru hanya mampu membantu siswanya untuk menjadi manusia otonom, manusia mandiri. Dan saat itulah kegugupan mulai membayangi setiap guru ketika berhadapan langsung dengan para siswanya dalam kelas. Manusia otonom? bagaimanakah bentukannya ketika diperhadapkan dengan immoralitas yang seolah sudah menyatu erat disetiap sudut sekolah, disetiap bangku-bangku sekolah.

Dalam sebuah artikel karya Maxime Greene, manusia otonom adalah manusia yang mampu mengambil keputusan terbaik bagi dirinya secara sadar dan mampu menjelaskan prinsip yang ia pegang dalam hidupnya. Ia mencoba lepas diri dari pengaruh otoritatif guru untuk melakukan tindakan yang menurut ia baik. Dalam hal ini, pengambilan keputusan demikian merupakan proses pendewasaan siswa. Ini juga berarti ada sistem nilai yang dianut oleh sang siswa. Sistem nilai yang mereka bentuk sendiri bersama teman-teman sebayanya. Tapi sang guru juga mempunyai keyakinan-keyakinan tersendiri, sistem nilai yang terstruktur dan sudah menjadi patokan utama dalam proses belajar mengajar. Kegugupan mulai menyerang guru ketika ternyata sistem nilai yang dibangun siswa ternyata bertolak belakang dengan sistem nilai yang dibangun oleh guru. Jika sang guru tidak mampu merasionalisasikan sistem nilainya akibat kegugupannya, tidak ada garansi bahwa sang siswa akan tetap bertahan dalam kelas. Pada akhirnya, perilaku-perilaku immoral menurut standar kemapanan hari ini, misalnya membolos, pelecehan seksual dan perkelahian sedikit demi sedikit muncul dipermukaan.

Untuk menghindari kegugupan berlangsung lama, guru mestinya memiliki prinsip dan berkomitmen pada prinsipnya tentang sistem nilai yang ia anut. Misalnya, sistem nilai bahwa pentingnya optimalisasi pengajaran didalam kelas dan tidak ada aktivitas yang boleh menginterupsi kegiatan ini, kecuali sang guru mengalah akibat kondisi kesehatan yang parah. Mengalah pun, sang guru mestinya mampu memberi rasionalisasi tentang kekalahannya sehingga tidak bisa hadir pada saat itu karena jika guru tidak mampu merasionalisasikannya maka siswa-siswa yang kurang motivasi belajarnya bisa saja lantas menyimpulkan “Ternyata guru kita berpendapat ada hal-hal lain yang lebih penting dikerjakan ketimbang bersekolah” dan memanfaatkan kejadian itu sebagai dasar pembentuk untuk membolos di kemuian hari. Sama halnya ketika guru berkali-kali terlambat memasuki ruangan kelas, kondisi ini pada suatu hari akan dipraktekkan oleh siswa. Fenomena UAN

Jika kegugupan akan sikap immorilatas membolos para siswa dapat kita atasi –meski tidak tuntas- dengan membentuk sikap keteladan sebagai bentuk penjelasan yang rasional kepeda mereka, maka ada satu fenomena dimana guru mengalami kegugupan akut. Fenomena tersebut adalah UAN (Ujian Akhir Nasional).
Baru saja kita merayakan perhelatan tahunan tersebut yang sering mengundang kecemasan bagi semua kalangan. Dengan standar kelulusan rata-rata 5,50 adalah standar yang tidak mudah untuk di capai. Perlu kerja keras dari para guru dan siswa untuk mencapai angka standar tersebut. Banyak hal telah dilakukan, pelajaran tambahan, bimbingan khusus, dan berbagai metode lain untuk meningkatkan kualitas pengetahuan menghadapi UAN. Namun waktu berjalan begitu cepat membuat raut muka para guru dan siswa gugup. Moralitas pun dipertaruhkan dengan mengacu pada dua pilihan yaitu menjadi manusia Homunculus (manusia murni yang memilih sesuatu dalam hidupnya untuk mengada sempurna) atau menjadi manusia Automaton (menilai segalanya dengan pandangan mekanistik). Jika sang guru memilih pilihan pertama, kemungkinan akan jatuh eksistensinya sebagai sekolah penyalur ilmu pengetahuan yang baik. Tapi jika pilihannya jatuh pada pilihan kedua, kemungkinan di satu sisi eksistensinya bertahan namun di sisi lain sang guru telah merusak moralitasnya sendiri, prinsipnya sendiri, dan kerja kerasnya sendiri.

Namun sangat tidak bijak jika kita blame the victim (menyalahkan korban). Pihak sekolah dalam hal ini guru adalah korban dari sistem birokrasi yang dibuat tanpa melakukan peninjauan secara teliti kebawah. Bahwa sebenarnya kita belum siap untuk menerapkan sistem tersebut. Bahwa masih ada hal yang lebih penting untuk dibenahi setuntas-tuntasnya yaitu sistem nilai kepribadian pendidik dan yang dididik, karena sulit bagi pihak sekolah untuk mencapai angka standar kelulusan jika masih ada kesalahpahaman sistem nilai antara siswa dan guru. Jika siswa masih berhadap-hadapan dengan kurikulum sekolah. Mereka masih menganggap kurikulum sebagai bentuk perampasan individualitas lewat despotisme tiranik.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger