Sabtu, 05 September 2009

Batu Gunung Kecil

Aku mendapat kiriman tautan facebook berjudul "ogah nikah" dari seorang teman, Ismail Amin. Tautan itu bercerita pergulatan seseorang ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan tentang menikah. Aku terharu sekaligus bingung, menapa kesendirian dianggap tidak terlalu istimewah dalam kehidupan sosial?.Apakah makna kelengkapan hidup itu?. Aku kembali terinspirasi.Dalam cerpen singkatku ini, aku ingin mengajak siapapun untuk merenungi kesendirian itu.

***

Kuucapkan selamat pagi pada seluruh tubuhku. Pada kelopak mata yang tak henti memihak pada keanggunan. Pada mulut, tak henti memuji ciptaan sempurna. Pada hati, selalu menyimpan sejuta puisi -untuk dinyanyikan saat bersama, atau saat bernaung di bawah pohon pinus.
Aku selalu berada dalam pagi yang cerah, kalaupun terselip wajah muram, aku selalu mencari celah cerah. Banyak cara, namun cuma ada satu cara ampuh. Cara ampuh, kuawali dengan pertanyaan "Akan berperan apa aku hari ini? Seorang Gurukah, temankah, ataukah sebongkah batu -duduk termenung menikmati hembusan nafas sendiri?"
Pagi ini, aku memilih menjadi sebongkah batu. Batu gunung kecil yang kebetulan terbawa deras arus sungai hingga ke sebuah padang pasir. Aku menjadi orang aneh di padang pasir itu, dengan bentuk yang tak terbentuk. Bukan bulat, apalagi persegi empat. Bentukku aku rasakan sendiri, "sebuah kebebasan dipersepsi".
Pagi ini, aku tidak mengurutkan agenda-agenda seperti biasanya. Sesuai dan sepenuh isi agenda. Tak menyisakan ruang kosong untuk kejutan atau agenda tersembunyi. Hari ini aku sudah memutuskan untuk berperan menjadi batu gunung kecil. Duduk termenung dengan corat-coret imaji-imaji menjelma kata-kata. Mungkin sebagian orang melihatku seperti orang yang menemukan pagi yang tak sempurna. Sebagian lagi mungkin melihatku berada dalam jeruji-jeruji duka lara. Namun, aku dalam detik, dalam menit dan dalam jam, kaleidoskop imaji-imaji yang bergerak maju-mundur, melintas dalam kepingan kebebasan, berkata ; ini hanyalah sebuah tempat singgah, tapi menyimpan banyak kata. Hampir tak ada kata sunyi di setiap kata. Percakapan, tawa renyah, jalanan macet, semua kurasakan di tengah padang pasir. Tamu-tamu bertemu, berjabat tangan diikuti anggukan, senyuman, bertukar kartu nama, nomor ponsel, pesta tahunan, melepas senja, cengkrama gadis, hingga ketenangan setelah senggama di malam bulan madu. Semua melebur dingin diantara fatamorgana padang pasir.
Pagi ini. aku hanyalah batu gunung kecil di padang pasir. Menunduk dan menjatuhkan suara begitu saja, lepas ke udara dan tak kuniatkan. Sebuah sapa, sebuah tanya terhenti begitu saja ketika sebuah gema datang dari terik matahari dan bertanya; apakah kamu sedang menatap dinding merah jambu, kini warnanya putih mengkilau. Apakah kamu ingin kembali mencat sebuah kamar dan menjadikannya sebagai kamar yang paling berkepribadian diantara kamar-kamar yang lain?. Aku tak menjawab dengan gema, hanya bergumam: Aku tak memiliki paku untuk kutancapkan pada setiap sisi dinding, untuk memajang lukisan cat air, foto, gambar, hiasan, dan menyemarakkan jejak dan tanda tentang diriku. Pagi ini aku hanya batu gunung kecil di padang pasir, duduk termenung sambil menatap dinding kuning muda seperti nenas seperti mentega seperti bunga matahari. Namun tak ada sesal dalam hati bahwa aku akan sering datang menghuni kamar ini.
Gema lain datang dari arah belakangku, menepuk pundakku dan bertanya: kudengar kau akan menikah?. Sahutku: yah, kudengar juga begitu, tapi itu cuma anjuran
"Kau terhakimi oleh anjuran itu?"
"Mungkin kau tahu apa rasanya, ketika dirimu bertulisan ramah sedang kaki-kaki sepatu mengijakmu. Kau tetap tergeletak seperti mati rasa, padahal kau tahu hak-hak sepatu runcing bisa melubangi badanmu, sol-sol sepatu bisa mengulekmu seperti sambal. Apakah kamu bisa bertahan dengan senyum dan lengan mengembang, bertahan dan terus bertahan seperti seorang petapa, seperti bangau yang mengangkat satu kaki di danau?"
"Kau terlalu tegak sendiri" bisiknya menjauh. "berkabut sendiri, berlindung dalam kaca-kaca dingin. Mengapa?"
"kau tak mengerti, ini hanya sementara. Hari ini aku ingin menikmati padang pasir. Menikmati kesendirian. Tak pernah membenak untuk menunda menikah, apalagi menolaknya. Kelak, ketika aku lupa, semua akan mengingatkanku lagi dan lagi. Suatu saat, aku berlari kencang diatas aspal. Meninggalkan pepohonan kota, jalan panjang yang diam. Kau tahu, kemana kakiku akan berlari? kedepan, hanya kedepan. Aku tidak mau lagi menatap nanar ke belakang. Tetumbuhan tak lagi tegak, ranting dedaunan patah-patah dan bunga-bunga koyak berserakan".
"berhentilah kau bermimpi saat kau masih menjadi batu gunung kecil seperti ini"
"mimpiku menjadi sebuah kemestian, tak terelakkan. Berkah ataukah kutukan, aku tak tahu. Tapi adalah ketaktahuan yang membuatku berlari, ketaktahuan yang menjadikan hidupku dan segala sesuatu datang manis mengejutkan, mendamaikanku dengan apapun. Dan hanya ketaktahuan yang menjadikan segala sesuatu taruhanku untuk sesuatu, meski aku tak tahu apa itu. Kelak, ketika aku bangun di sebuah pagi sempurna, dengan senyum merekah ikhlas. Aku tidak akan betah dengan hari-hari lama. Aku pergi, membawa pedang bunga. Menuju cakrawala. Disana, baru aku akan menegerti semua makna mimpiku".

***
Dan pagi sudah hampir menapak senja, tak terasa angin membawanya jauh di kegelapan malam kemudian pagi kembali datang dengan membawa sederet pilihan. Sesaat khawatir, bagaimana jika ternyata semua ini hanyalah antisipasi yang berkepanjangan, tanpa akhir. Aku bahkan tak tahu sedang mengharapkan apa dari pilihan-pilihan itu.

Makassar, 5 Sep 2009

Ibu Seorang

Suatu saat diatas tikar.
Kau terbangun oleh rasa sakit di perutmu.
Kau meraba perutmu, seperti ada yang akan jatuh dalam dirimu.
Kau menjeritkan sebuah kata mirip maut.
Disampingmu seorang pria cemas.
Kau cengkram tangannya kuat. Dia menatap matamu yang membesar.
Menatapmu dengan mata hitamnya lembut, begitu lembut.
Kau menelan matanya ke dalam dirimu. Menenangkanmu.
Dan kau rasakan ada yang keluar jatuh dari rahimmu. Sakitmu memupus.
Lalu hening hilang oleh pecah tangis bayi.
Kau melepas nafas diantara senyum merekah.
Kau memejamkan mata diantara mata terbuka binar.
Kau menggigit bibir diantara dera kebahagiaan.
Hampir sekarat yang tak pernah dimengerti lelaki.
Belum berakhir....
Bayi itu berhenti menangis saat dekatmu.
Kau dekatkan dadamu di kepalanya.
Kau kecup wewangian tubuhnya.
Wangi manis, wangi begitu baru, wangi berasal dari tubuhmu.
Kau senandungkan lagu. Mengantarnya ke malam.
Matanya perlahan mengatup.
Gerak bibirnya perlahan mengendurkan hisap puting susumu.
Kau berbisik: Kelak ketika engkau sudah besar, akan kuserahkan pada dunia. Ketika engkau kenal bahasa, ucapkan keindahan. Dunia diluar sini adalah hutan. Banyak jalan, jebakan maut. Ketika kau sendirian, terjebak dalam hutan, tanpa remah-remah roti petunjuk jalan. Lewati semua sengkarut dengan sabar.

Makassar, 3 Sep 2009


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger