Selasa, 22 September 2009

MENUNGGU SATU KALIMAT

Suatu saat, ketika kau berdiri di atas bukit. Mendengarkan desir angin lembut yang menjalar kedalam hatimu dengan bunyi serasi. Menatap kabut dan takjub seketika. Ketika melihat cahaya kelap-kelip muncul dari kabut. Banyak kelap-kelip, beterbangan kian terang kian dekat menuju batu tempatmu berdiri.
Lalu kau lantumkan banyak syair tentang semburan gunung dan malapetaka laharnya. Syairmu dari malam. Malam yang tak bisa kau lawan, tak ingin kau lawan, namun enggan kau titipkan untuk setahun, dua tahun, atau beribu-ribu tahun yang akan datang. Lalu kau menoleh pada kehendak, yang memiliki kehendak. Semesta ilmunya yang rapuh bercerita kepastian, keteraturan, yang teracak olehmu. Setujunya akan lenyap oleh banyak kemungkinanmu dan ketidakmungkinanmu.
Diantara banyak syair, ada sedikit sunyi. Sesaat menyadari, kekacauan; mengintip, berdesir, berbisik, sembunyi di balik keteraturan yang membatu dan sebentuk hutan rimba.
Di ruang-ruang putih, kau sengaja menjatuhkan huruf-huruf hitam tak berbentuk. Patah dan tumpang tindih. Kalimat-kalimat putus sebelum mencapai tepian kertas. Namun serupa teriakan, serupa syair yang kau lantumkan di atas bukit. Ketika kau menatap sekitar, tampak banyak hantaman kata-kata, bukan nyawa-nyawa. Banyak kalimat, dan kau butuh satu saja kalimat. Yang membuat mata ternganga. Sayang kau tak memilikinya…..lalu siapa yang memilikinya. Kau menunggu.
Dalam rentang waktu menunggu, kau mencoba menjadikan dirimu seperti apa yang kau tunggu. Seperti bunga matahari, seperti cakar harimau, seperti bintang, seperti bulan, bahkan seperti Percikan api yang akan membakar ilalang. Dan pada saat yang sama kau melawan dirimu, melawan egomu, melawan nafsumu, melawan semua hal yang tak produktif.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG SELALU RESAH dan MASIH BERJUANG UNTUK RESAH….I LOV YU PULL)

DARI ISTRIMU

Kau melihatnya tergeletak jatuh tak berpenghuni. Kau meraih tangannya dan mengapitnya menuju singgasana. Menyelipkan bunga melati putih di rambutnya. Cahaya lampu-lampu, nokhtah-nokhtah tampak kian terang, kian jernih setelah tibamu di langit malam. Kau tak mempersoalkan lagi di mana jatuhnya, tak lagi peduli, tak merasa perlu.
Malam, kau menatap cahaya terbentang, manatap kota menghampar di langit. Menatap indah, hampir surgawi. Tiba-tiba ia berbalik, menatapmu yang sedang diam-diam kau tatap. Tatapan yang lekat, sangat lekat. Seakan kau dan ia bertukar tempat. Mencocokkan rasa, mencocokkan keinginan. Kata-kata sembunyi dibalik isyarat tatapan, mengalir lembut seperti angin pengunungan.
Pagi meninggalkan malam, kembali kata-kata sederhana mengalir berangkat dari hati. Kata-kata sisa semalam. Tak terhingga. Kata-kata itu merentang begitu jauh dalam dirimu. Berjatuhan seperti salju, mengagumi wujudmu kokoh dan bijak. Kau terpukau sedemikian rupa hingga kau perlu memeluknya lagi seperti seorang anak kecil.
Sore hari yang hampir malam. Di depanmu, pohon sakura berdiri tegak. Sakura yang hampir berbunga. Sakura istrimu. Pemandangan itu menyenangkan hatimu, senang yang bertambah ketika kau mengajaknya memandang pantai lepas nun jauh di sana. Dalam hati kau bicara, semoga ini akan kekal tanpa kecewa. Terus-menerus, mengawali akhir, mengakhiri awal yang dinamai manusia sebagai cinta.
Dalam perjalanan kekal, sebuah bulan menjelma banyak bulan, hampir seribu. Ia beranak pinang membentuk serdadu. Membentuk sayap yang siap membawa dirimu dan terbang kesurga. Tempat orang yang mengagumi cinta. Sampai tiba waktunya menutup mata, ketika kau bersatu dengan tanah bumi. Kembali. Tanda hidupmu tetap di atas tanah. Kesaksian, pemaknaanmu akan di jaga oleh sayap-sayap yang kau ciptakan.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG TAK SEMPAT KUKUNJUNGI PERNIKAHANNYA)

DARI SUAMIMU

Awalnya kau berjalan menatap pagi sendiri. Lalu muncullah ia. Seraut wajah mengkisah dalam hidupmu. Dalam sebentang waktu yang panjang. Dalam harum biru. Tanpa akhir. Mengecup wajahmu yang tanpa rias, tanpa aksesoris, rambut jatuh hingga sebahu. Sekilas mimpi semalam terbayang. Mimpi yang kau ingat dengan jernih. Kau ungkapkan dalam bisik di senyummu. Ia mendekatkan telinganya, bukanlah sebenar telinga, tapi hati yang mencoba meresap semua kisahmu. Mengusap rambutmu, mengecupmu. Kecupan hening akan menenangkanmu ke pagi.
Saat matahari mulai meninggi, kau berdiri di pintu yang membuka setengah. Memandangi pria penguasa semesta dirimu. Langkahnya menuju pertaruhan dengan keringat. Teringat ucapannya sesaat lalu, yang manis dan meyakinkanmu bahwa ia akan kembali dengan senyum cerah. Kau membisu yang terbukungkus berbagai ragu. Dalam bisumu, kau mendengarkan suaranya menetralkan ragu, menjauhkan segala ketidakpastian dalam benakmu. Ketidakpastian yang kau tak tahu, hanya berharap ia juga merasa apa yang kau rasa. Kau tak lagi melihat akan ada duka ataukah bahagiah setelah semua ini, namun kembali ia meyakinkanmu dengan sihir manis, akan tinggal lama dalam dirimu.
Dan sore mulai menjelang. Seorang pria datang dengan wajah mirip martil, selamanya martil, untuk kebahagiaanmu dan buah didalam rahimmu. Ia lalu duduk di kursi kesayangannya. Menyandarkan tubuh sementara mata menutup melepaskan lelah. Kau dekati dia dengan gelisahmu dan melantumkan suara lembut membasahi raganya yang terbakar pijar. Ia mulai membuka mata kembali. Memandangimu, refleksimu dalam retina matanya serupa bidadari yang membawa bongkahan salju.
Malam, setelah semuanya melantumkan Do’a pada pemilik kebahagiaan. Seorang lelaki mengusap jemarimu, mengamit lenganmu, mengajak kedalam relaksasi yang dalam. Dan semesta sunyi dalam rangkulan hening. Desir angin pun tiba-tiba tak terasa. Tak terasa dingin, tak terasa panas. Yang terasa hanyalah sebuah kesaksian cinta. Mengalir bisu, sebisu mata lelaki yang berisyarat.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG TAK SEMPAT KUKUNJUNGI PERNIKAHANNYA)


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger