Tanggung jawab guru makin lama makin rumit. Tiap hari dia harus menafsirkan kembali kehidupan modern. Lantaran kehidupan modern punya begitu banyak aspek dan sekian banyak matra, yang tak mungkin dipahami sepenuhnya dengan cara-cara konvensional. Sebagai manusia yang memiliki nilai, guru diperhadapkan dengan berbagai bentuk persoalan sebagai dampak modernisasi dalam dunia pendidikan. Mulai dari persoalan kesejahteraannya sampai perilaku immoral para siswa yang ujung-ujungnya guru menjadi sasaran kritik masyarakat sebagai factor yang tidak bisa membentuk manusia menjadi lebih baik. Belum lagi ketika guru, tanpa sadar diri, ikut terjerumus pada tindakan-tindakan yang dinilai masyarakat immoral, maka semakin berlipat-gandalah tekanan yang diterimanya. Beberapa kasus yang melibatkan oknum guru sebagai pelaku utama, seperti pelecehan seksual, aksi pemukulan, dan pembocoran soal UAN sudah menjadi berita basi bagi masyarakat. Kasus-kasus ini, ibarat pukulan telak terhadap dunia pendidikan kita, selanjutnya akan menimbulkan pertanyaan yang menggugah kesadaran kita. Bagaimana kualitas lulusan proyek pendidikan kita hari ini? Jika kita ingin menjawab seadanya, mungkin tidak jauh-jauh dari gambaran beberapa kasus diatas yaitu kualitas manusia Automaton – makhluk hidup yang bergerak dan berfikir serupa mesin, serba otomatis – atau dalam penegertian Erich Fromm, individu yang kehilangan hakikat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri saja….alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas.
Namun terlepas dari itu semua, guru sadar akan ketidaklengkapan dirinya sendiri, sadar akan ketidaklengkapan para muridnya, sang guru hanya mampu menjumpai siswanya tanpa mengobjekkan mereka. Guru hanya mampu membantu siswanya untuk menjadi manusia otonom, manusia mandiri. Dan saat itulah kegugupan mulai membayangi setiap guru ketika berhadapan langsung dengan para siswanya dalam kelas. Manusia otonom? bagaimanakah bentukannya ketika diperhadapkan dengan immoralitas yang seolah sudah menyatu erat disetiap sudut sekolah, disetiap bangku-bangku sekolah.
Dalam sebuah artikel karya Maxime Greene, manusia otonom adalah manusia yang mampu mengambil keputusan terbaik bagi dirinya secara sadar dan mampu menjelaskan prinsip yang ia pegang dalam hidupnya. Ia mencoba lepas diri dari pengaruh otoritatif guru untuk melakukan tindakan yang menurut ia baik. Dalam hal ini, pengambilan keputusan demikian merupakan proses pendewasaan siswa. Ini juga berarti ada sistem nilai yang dianut oleh sang siswa. Sistem nilai yang mereka bentuk sendiri bersama teman-teman sebayanya. Tapi sang guru juga mempunyai keyakinan-keyakinan tersendiri, sistem nilai yang terstruktur dan sudah menjadi patokan utama dalam proses belajar mengajar. Kegugupan mulai menyerang guru ketika ternyata sistem nilai yang dibangun siswa ternyata bertolak belakang dengan sistem nilai yang dibangun oleh guru. Jika sang guru tidak mampu merasionalisasikan sistem nilainya akibat kegugupannya, tidak ada garansi bahwa sang siswa akan tetap bertahan dalam kelas. Pada akhirnya, perilaku-perilaku immoral menurut standar kemapanan hari ini, misalnya membolos, pelecehan seksual dan perkelahian sedikit demi sedikit muncul dipermukaan.
Untuk menghindari kegugupan berlangsung lama, guru mestinya memiliki prinsip dan berkomitmen pada prinsipnya tentang sistem nilai yang ia anut. Misalnya, sistem nilai bahwa pentingnya optimalisasi pengajaran didalam kelas dan tidak ada aktivitas yang boleh menginterupsi kegiatan ini, kecuali sang guru mengalah akibat kondisi kesehatan yang parah. Mengalah pun, sang guru mestinya mampu memberi rasionalisasi tentang kekalahannya sehingga tidak bisa hadir pada saat itu karena jika guru tidak mampu merasionalisasikannya maka siswa-siswa yang kurang motivasi belajarnya bisa saja lantas menyimpulkan “Ternyata guru kita berpendapat ada hal-hal lain yang lebih penting dikerjakan ketimbang bersekolah” dan memanfaatkan kejadian itu sebagai dasar pembentuk untuk membolos di kemuian hari. Sama halnya ketika guru berkali-kali terlambat memasuki ruangan kelas, kondisi ini pada suatu hari akan dipraktekkan oleh siswa. Fenomena UAN
Jika kegugupan akan sikap immorilatas membolos para siswa dapat kita atasi –meski tidak tuntas- dengan membentuk sikap keteladan sebagai bentuk penjelasan yang rasional kepeda mereka, maka ada satu fenomena dimana guru mengalami kegugupan akut. Fenomena tersebut adalah UAN (Ujian Akhir Nasional).
Baru saja kita merayakan perhelatan tahunan tersebut yang sering mengundang kecemasan bagi semua kalangan. Dengan standar kelulusan rata-rata 5,50 adalah standar yang tidak mudah untuk di capai. Perlu kerja keras dari para guru dan siswa untuk mencapai angka standar tersebut. Banyak hal telah dilakukan, pelajaran tambahan, bimbingan khusus, dan berbagai metode lain untuk meningkatkan kualitas pengetahuan menghadapi UAN. Namun waktu berjalan begitu cepat membuat raut muka para guru dan siswa gugup. Moralitas pun dipertaruhkan dengan mengacu pada dua pilihan yaitu menjadi manusia Homunculus (manusia murni yang memilih sesuatu dalam hidupnya untuk mengada sempurna) atau menjadi manusia Automaton (menilai segalanya dengan pandangan mekanistik). Jika sang guru memilih pilihan pertama, kemungkinan akan jatuh eksistensinya sebagai sekolah penyalur ilmu pengetahuan yang baik. Tapi jika pilihannya jatuh pada pilihan kedua, kemungkinan di satu sisi eksistensinya bertahan namun di sisi lain sang guru telah merusak moralitasnya sendiri, prinsipnya sendiri, dan kerja kerasnya sendiri.
Namun sangat tidak bijak jika kita blame the victim (menyalahkan korban). Pihak sekolah dalam hal ini guru adalah korban dari sistem birokrasi yang dibuat tanpa melakukan peninjauan secara teliti kebawah. Bahwa sebenarnya kita belum siap untuk menerapkan sistem tersebut. Bahwa masih ada hal yang lebih penting untuk dibenahi setuntas-tuntasnya yaitu sistem nilai kepribadian pendidik dan yang dididik, karena sulit bagi pihak sekolah untuk mencapai angka standar kelulusan jika masih ada kesalahpahaman sistem nilai antara siswa dan guru. Jika siswa masih berhadap-hadapan dengan kurikulum sekolah. Mereka masih menganggap kurikulum sebagai bentuk perampasan individualitas lewat despotisme tiranik.
Namun terlepas dari itu semua, guru sadar akan ketidaklengkapan dirinya sendiri, sadar akan ketidaklengkapan para muridnya, sang guru hanya mampu menjumpai siswanya tanpa mengobjekkan mereka. Guru hanya mampu membantu siswanya untuk menjadi manusia otonom, manusia mandiri. Dan saat itulah kegugupan mulai membayangi setiap guru ketika berhadapan langsung dengan para siswanya dalam kelas. Manusia otonom? bagaimanakah bentukannya ketika diperhadapkan dengan immoralitas yang seolah sudah menyatu erat disetiap sudut sekolah, disetiap bangku-bangku sekolah.
Dalam sebuah artikel karya Maxime Greene, manusia otonom adalah manusia yang mampu mengambil keputusan terbaik bagi dirinya secara sadar dan mampu menjelaskan prinsip yang ia pegang dalam hidupnya. Ia mencoba lepas diri dari pengaruh otoritatif guru untuk melakukan tindakan yang menurut ia baik. Dalam hal ini, pengambilan keputusan demikian merupakan proses pendewasaan siswa. Ini juga berarti ada sistem nilai yang dianut oleh sang siswa. Sistem nilai yang mereka bentuk sendiri bersama teman-teman sebayanya. Tapi sang guru juga mempunyai keyakinan-keyakinan tersendiri, sistem nilai yang terstruktur dan sudah menjadi patokan utama dalam proses belajar mengajar. Kegugupan mulai menyerang guru ketika ternyata sistem nilai yang dibangun siswa ternyata bertolak belakang dengan sistem nilai yang dibangun oleh guru. Jika sang guru tidak mampu merasionalisasikan sistem nilainya akibat kegugupannya, tidak ada garansi bahwa sang siswa akan tetap bertahan dalam kelas. Pada akhirnya, perilaku-perilaku immoral menurut standar kemapanan hari ini, misalnya membolos, pelecehan seksual dan perkelahian sedikit demi sedikit muncul dipermukaan.
Untuk menghindari kegugupan berlangsung lama, guru mestinya memiliki prinsip dan berkomitmen pada prinsipnya tentang sistem nilai yang ia anut. Misalnya, sistem nilai bahwa pentingnya optimalisasi pengajaran didalam kelas dan tidak ada aktivitas yang boleh menginterupsi kegiatan ini, kecuali sang guru mengalah akibat kondisi kesehatan yang parah. Mengalah pun, sang guru mestinya mampu memberi rasionalisasi tentang kekalahannya sehingga tidak bisa hadir pada saat itu karena jika guru tidak mampu merasionalisasikannya maka siswa-siswa yang kurang motivasi belajarnya bisa saja lantas menyimpulkan “Ternyata guru kita berpendapat ada hal-hal lain yang lebih penting dikerjakan ketimbang bersekolah” dan memanfaatkan kejadian itu sebagai dasar pembentuk untuk membolos di kemuian hari. Sama halnya ketika guru berkali-kali terlambat memasuki ruangan kelas, kondisi ini pada suatu hari akan dipraktekkan oleh siswa. Fenomena UAN
Jika kegugupan akan sikap immorilatas membolos para siswa dapat kita atasi –meski tidak tuntas- dengan membentuk sikap keteladan sebagai bentuk penjelasan yang rasional kepeda mereka, maka ada satu fenomena dimana guru mengalami kegugupan akut. Fenomena tersebut adalah UAN (Ujian Akhir Nasional).
Baru saja kita merayakan perhelatan tahunan tersebut yang sering mengundang kecemasan bagi semua kalangan. Dengan standar kelulusan rata-rata 5,50 adalah standar yang tidak mudah untuk di capai. Perlu kerja keras dari para guru dan siswa untuk mencapai angka standar tersebut. Banyak hal telah dilakukan, pelajaran tambahan, bimbingan khusus, dan berbagai metode lain untuk meningkatkan kualitas pengetahuan menghadapi UAN. Namun waktu berjalan begitu cepat membuat raut muka para guru dan siswa gugup. Moralitas pun dipertaruhkan dengan mengacu pada dua pilihan yaitu menjadi manusia Homunculus (manusia murni yang memilih sesuatu dalam hidupnya untuk mengada sempurna) atau menjadi manusia Automaton (menilai segalanya dengan pandangan mekanistik). Jika sang guru memilih pilihan pertama, kemungkinan akan jatuh eksistensinya sebagai sekolah penyalur ilmu pengetahuan yang baik. Tapi jika pilihannya jatuh pada pilihan kedua, kemungkinan di satu sisi eksistensinya bertahan namun di sisi lain sang guru telah merusak moralitasnya sendiri, prinsipnya sendiri, dan kerja kerasnya sendiri.
Namun sangat tidak bijak jika kita blame the victim (menyalahkan korban). Pihak sekolah dalam hal ini guru adalah korban dari sistem birokrasi yang dibuat tanpa melakukan peninjauan secara teliti kebawah. Bahwa sebenarnya kita belum siap untuk menerapkan sistem tersebut. Bahwa masih ada hal yang lebih penting untuk dibenahi setuntas-tuntasnya yaitu sistem nilai kepribadian pendidik dan yang dididik, karena sulit bagi pihak sekolah untuk mencapai angka standar kelulusan jika masih ada kesalahpahaman sistem nilai antara siswa dan guru. Jika siswa masih berhadap-hadapan dengan kurikulum sekolah. Mereka masih menganggap kurikulum sebagai bentuk perampasan individualitas lewat despotisme tiranik.
0 komentar:
Posting Komentar