Aku selalu ingin bertanggung jawab pada setiap garis pinggiran kertas. 4-4-3-3. Aku ingin merasakan betapa keterbatasan selalu membungkus badan, wajah, serta nalar kita. satu cara untuk mengelabui keterbatasan itu, aku hiasi disetiap sudutnya dedaunan hijau dan menyelipkan bunga berwarna-warni di setiap ujung pangkalnya. dan disetiap garis lintangnya, kulukis burung-burung nan tampak hidup.
“hari ini, aku ingin mulai menulis lagi” kurangkap beberapa kertas menumpuk kebawah. cukuplah 4. atau ketika tujuan sudah mendahului ide, lembaran terakhir kukosongkan saja. sudah tersedia pena dengan mata halus memandang.
tapi aku lama terdiam.
sudah lama tidak menuangkan cerita kedalam kertas. otak terasa berkarat untuk mencari ide. padahal setiap lirikan adalah ide. setiap langkah adalah ide. dan setiap hembusan nafas adalah ide.
lalu, kenapa aku terdiam?
pena dalam genggaman mulai merayu. “jangan terlalu sibuk dengan kehidupan terdahulumu. yang kau pikirkan hari ini mestinya akan terjadi di kehidupanmu kelak. apa didalam benakmu sekarang, hai penghayal”
“kebahagiaan!”
“kebahagiaan apa? kau rasakan dari mana kebahagiaan itu? dari materi? dari cinta? ataukah dari umurmu yang hampir setengah umur Nabimu?”
“aku ingin merangkai ketiganya dalam satu kisah”
“kau mulai dari mana?”
“dari cinta, kulanjut umur, kuakhiri dalam materi”
“jangan…..aku tak akan sanggup menampung air matamu” lembaran pertama berkata setengah memohon.
“aku tidak ingin kau torehkan angka dalam benakku” lembaran kedua menolak.
“aku pun geli ketika kau mulai menghitung materimu” lembaran ketiga menolak dengan senyuman.
“bagaimana jika kumulai dari umur, dan kuceritakan sedikit materi, lalu cinta menyimpulkannya?”
“aku adalah awal. setiap awal tak pernah mengungkapkan penyesalan. aku bisa menebak, kau begitu menyesal dengan umurmu kini” lembaran pertama kembali menolak.
“kutawarkan materi sebagai awal”
“setiap langkahmu adalah kefakiran, sastra kuno telah menuangkannya sejak lama diawal kisah. aku ingin sesuatu yang baru darimu”
kulirik lembaran kedua. dia membung muka. kualihkan pandangan ke lembaran ketiga. dia menunduk lalu menggelangkan kepala. sisanya lembaran keempat.
“bagaimana dengan kau”
“aku tak cukup menampung ketiganya. aku pun tidak ingin mengungkap tema dengan kata akhir bersambung”
Aku berdiri lalu berjalan mendekati jendela. angin dini hari menyapa dingin. sesekali hembusannya merangkul erat. ada kerinduan yang dalam dari rangkulannya. sesekali pula sedikit menampar wajahku. ada kebencian yang sangat dalam hatinya.
“apa kabarmu?” kusapa saat dia merangkul
“aku sangat baik dan bahagia” kemudian dia menampar. “kutawarkan satu ide untukmu”
“apa itu?”
“ZERO. kekosongan. ketiadaan”
“apa maknanya?”
“sebenarnya kau tidak memiliki. kau termiliki”
“apa yang memilikiku?”
“yang membuatmu merasa termiliki. perasaanmu hanyalah kesementaraan dan akan menjelma menjadi ketiadaan. jika kau betah dengan perasaanmu, kau menjadi termiliki oleh perasaanmu”
“aku belum paham maksudmu”
“kudengar kau memilih tema kebahagiaan. kebahagiaanmu adalah cintamu kini, materimu kini, dan umurmu kini. kau merasa miliki mereka. tapi aku yakin, mereka telah memilikimu tanpa kau sadari”
khotbahnya membuatku pucat. kututup jendela serapat mungkin dan berharap dia tidak datang lagi dalam hidupku. aku kembali menemui pena dan beberapa lembar kertas. kupandangi wajah mereka satu persatu. Nampak pucak.
“kalian mendengar pembicaraanku dengan angin?”
“iya” seru mereka hampir bersamaan.
“kenapa wajah kalian ikut memucat?”
“angin itu betul, kebahagiaan ketika kita berada dalam ketiadaan, kekosongan, ZERO. didalam ketiadaan, kau adalah makhluk bebas. apakah kau rindu dengan kebebasanmu?”
“iya”
“kalau begitu, mulailah menulis dari kebebasanmu” pena mulai berdiri miring kearahku. wajah beberapa lembar kertas terlihat merona. berseri.
(Kelara, 21 Juli 2009)
Sabtu, 29 Agustus 2009
ZERO
Diposting oleh M@rlin di 08.41
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar