Rabu, 09 September 2009

Tentang Malaysia

Hubungan Indonesia dengan Malaysia selalu saja bernuansa Love and Hate. Di mulai ketika Bung Karno berpidato di acara Maulid mengecam aksi tidak beretika demonstran Malaysia yang merobek-robek bendera Merah Putih dan menginjak-injak burung Garuda, lambang Negara kita. Sampai sekarang ini, Indonesia selalu mengalah dari saudara mudanya itu. Dan sebagai saudara yang lebih tua, Indonesia mau-mau saja di mainkan dan di olok-olok oleh adiknya. Kaciaaaan…

Negara kecil seluas kurang lebih 330,000 km dengan jumlah penduduk sekitar 23 juta jiwa itu selalu tidak puas dengan kekerdilannya. Satu persatu wilayah Indonesia di klaim miliknya, sayangnya reaksi Indonesia sangat lamban dan hanya bisa marah-marah. Dimulai dari klaim Malaysia terhadap wilayah Kalimantan Barat sebagai bagian federasi Malaysia. Padahal dalam Manila Accord antara Tungku Abdul Rahman dari Malaysia, Presiden Macapagal dari Philipina dan Bung Karno, disepakati bahwa status daerah Kalimantan Utara akan dibicarakan lebih lanjut melalui referendum rakyatnya. Namun kelicikan Malaysia secara fait accompli pada tanggal 29 Agustus 1964 Tungku Abdul Rahman dan Inggris mengumumkan penggabungan Kalimantan Utara sebagai bagian dari federasi Malaysia.

Sebagai kepala Negara, Bung Karno tentu saja marah, dan sejarah selanjutnya mencatat Sejarah mencatat politik konfrontasi terhadap Malaysia telah menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Ribuan sukarelawan disusupkan lewat laut dan udara melalui Johor, Singapura, Sabah dan Sarawak. Pasukan Marinir, maupun reguler bertempur di hutan hutan Kalimantan dengan pasukan gurkha dan tentara Inggris, sebagai perang yang tak pernah diumumkan antara Inggris dan Indonesia. Perang selama 3 tahun yang karena sifat kerahasiaan dan tidak hadirnya wartawan dalam pertempuran, menyebabkan tidak banyak orang luar memahami, betapa dahsyat pertempuran yang terjadi. ( Thomas Geraghty, Who dares wins, the story SAS 1950 -1980 )

Setelah orde lama tumbang, kedua negara itu memulai hubungan baru. Indonesia-Malaysia bekerja sama dalam bidang pendidikan. Tahun 70-an Indonesia mengirim dosen, guru untuk membangun infrastruktur pendidikan di Malaysia yang saat itu baru memiliki satu universitas. Buku wajib belajar mereka adalah karya sastrawan dari Indonesia. Bahkan juga mengirim ke sekolah film di IKJ, serta menjiplak UU Perfilman Nasional kita. Di dunia film, banyak orang film Malaysia yang mencari nafkah di Indonesia dan kita sekarang yang belajar film dengan mereka. Sekarang si saudara muda sudah menuai hasilnya, membuat mereka maju sebagai bangsa yang mandiri sehingga melahirkan perubahan pola pikir. Generasi baru Malaysia sekarang hanya melihat Indonesia sebagi pengekspor pembantu, buruh, TKI serta biang kerok kebakaran hutan saja. Ini membuat secara mental mereka lebih superior dan menjadi dengan gampangnya menyepelekan hubungan ras serumpun antar bangsa ini. Berbagai peristiwa lain yang mengusik rasa kebangsaan kita antara lain: Pencaplokan pulau Sipadan – Ligitan, kasus Ambalat, TKI yang dianiaya dan diperkosa wasit karate kita yang di gebukin, istri diplomat yang ditahan , batik yang dipatenkan oleh mereka, sampai terakhir pemakaian lagu rasa Sayange dan tari Pendet hanya menjadi excuse dari sebuah bangsa yang merasa besar dengan huruf b kecil itu.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger